hari ini di negeri ini banyak sekali kerusuhan yang terjadi
apa yang jadi fokus utama sudah menjadi mimpi buruk
bahkan untuk warganya sendiri
semua adalah hadiah dari kebodohan itu sendiri
provokasi ada dimana mana
bahkan dilakukan oleh orang yang merasa di rugikan karena tidak sesuai dengan pilihannya
bahkan dilakukan oleh oran yang merasa dirinya pintar
apakah semua akan berbeda ketika pilihan mereka yang menang?
apakah ini yang mereka harapan hanya karena pilihan mereka tidak menang?
ini pertama kalinya pilihan saya menang
apa yang di khawatirkan terjadi
semua seakan menyalahkan
padahal tidak ada yang bisa memastikan apa yang terjadi di masa depan
sekarang kalian senang dengan semua kerusuhan yang terjadi?
pertanyaan nya?
siapa yang di untungkan?
apakah kamu senang dengan hasil provokasi kalian ini?
Paradoks Kemenangan: Saat Pilihan Menang, Namun Bangsa Terancam Kalah
Sebuah kemenangan seharusnya mendatangkan euforia, sebuah perayaan atas harapan baru. Namun, bagaimana jika kemenangan itu justru menjadi gerbang menuju sebuah mimpi buruk? Inilah ironi pahit yang sedang kita saksikan di negeri ini. Hari-hari yang seharusnya diisi dengan optimisme dan rekonsiliasi, kini justru diliputi oleh riak-riak perpecahan dan gelombang keresahan sosial yang membara. Apa yang dahulu menjadi fokus utama—membangun masa depan yang lebih baik—kini terkikis oleh realitas yang menyakitkan, sebuah realitas yang dirasakan bahkan oleh mereka yang berada di pihak pemenang.
Keresahan ini bukanlah tanpa sebab. Apa yang kita tuai hari ini adalah "hadiah dari kebodohan itu sendiri". "Kebodohan" di sini bukanlah tentang kurangnya intelektualitas, melainkan sebuah kegagalan kolektif yang lebih dalam: kegagalan untuk berpikir kritis, kegagalan untuk menempatkan persatuan bangsa di atas ego kelompok, dan kegagalan untuk menolak pesona provokasi yang kini menari di setiap sudut ruang digital dan percakapan kita.
Provokasi menjadi senjata utama. Yang lebih mengkhawatirkan, ia tidak lagi disebar oleh anonim tak berwajah, melainkan justru oleh mereka yang merasa dirugikan karena pilihannya tidak berkuasa. Ironisnya, banyak di antara mereka adalah orang-orang yang merasa dirinya pintar, kaum terdidik yang seharusnya menjadi pilar akal sehat. Mereka merangkai narasi kebencian dengan dalih "kritik konstruktif", membungkus kekecewaan pribadi dengan jubah "kepentingan rakyat", dan secara sadar atau tidak, menyiram bensin ke api yang sudah menyala.
Ini memunculkan serangkaian pertanyaan fundamental yang menggugat nurani kita:
Apakah semua akan berbeda ketika pilihan mereka yang menang? Mungkinkah mereka akan menjadi pihak yang menuntut persatuan dan mengecam segala bentuk kerusuhan? Jika jawabannya iya, maka yang mereka perjuangkan bukanlah kebaikan negeri, melainkan sekadar kemenangan ego dan kelompoknya. Demokrasi direduksi menjadi permainan menang-kalah, bukan sebuah mekanisme untuk mencapai tujuan bersama.
Apakah ini yang mereka harapkan hanya karena pilihan mereka tidak menang? Apakah pemandangan negeri yang terbelah, masyarakat yang saling curiga, dan potensi kekacauan adalah harga yang pantas dibayar untuk sebuah kekecewaan elektoral? Jika iya, maka kita sedang berhadapan dengan sebuah patologi sosial yang berbahaya, di mana kehancuran bersama dianggap lebih baik daripada melihat "lawan" politik berhasil.
Bagi sebagian dari kita, ini adalah momen yang membingungkan. Seperti yang Anda rasakan, "ini pertama kalinya pilihan saya menang." Momen yang seharusnya menjadi validasi atas keyakinan politik, justru disambut dengan realitas yang paling dikhawatirkan. Tiba-tiba, semua seakan menyalahkan. Setiap kebijakan dicurigai, setiap langkah difitnah, dan setiap masalah—bahkan yang sudah mengakar puluhan tahun—seolah menjadi dosa dari pemerintahan yang belum genap seumur jagung. Padahal, tidak ada satu pun manusia atau kelompok yang bisa memastikan secara absolut apa yang akan terjadi di masa depan. Yang ada hanyalah niat baik, strategi, dan upaya yang hasilnya baru bisa dinilai seiring berjalannya waktu.
Kepada mereka yang mungkin merasa senang dengan semua kerusuhan dan ketidakstabilan yang terjadi, pertanyaan ini perlu diajukan: "Sekarang kalian senang?" Senang melihat tetangga saling caci, kawan menjadi lawan, dan energi bangsa terkuras habis untuk pertikaian yang tak produktif?
Dari semua kekacauan ini, kita harus berhenti sejenak dan mengajukan pertanyaan paling penting dan paling esensial:
Siapa yang sesungguhnya diuntungkan? (Cui bono?)
Jawabannya sudah pasti bukan rakyat biasa. Bukan petani yang butuh pupuk, bukan guru yang mendidik generasi penerus, bukan pula pedagang kecil yang berjuang menghidupi keluarga. Mereka yang bersorak di atas perpecahan ini adalah:
Elite Politik Oportunis: Mereka yang menjadikan kekacauan sebagai panggung untuk menaikkan posisi tawar politik mereka. Bagi mereka, instabilitas adalah modal.
Pemain Ekonomi Hitam: Mereka yang bisnisnya subur di tengah hukum yang lemah dan pemerintahan yang goyah. Kerusuhan adalah pengalih perhatian yang sempurna.
Kekuatan Asing: Pihak luar yang tidak ingin melihat sebuah bangsa menjadi kuat dan mandiri. Bangsa yang sibuk bertikai di dalam rumahnya sendiri tidak akan pernah menjadi ancaman atau pesaing di panggung global.
Arsitek Narasi dan Buzzer: Industri kebencian yang meraup keuntungan finansial dari setiap klik, share, dan komentar penuh amarah yang kita hasilkan.
Pada akhirnya, dalam pertarungan ini, tidak ada pemenang sejati di antara rakyat. Pihak yang pilihannya menang terbebani oleh ekspektasi dan serangan, sementara pihak yang kalah terjebak dalam lingkaran kekecewaan dan kemarahan. Kita semua, sebagai satu bangsa, berada di ambang kekalahan.
Kemenangan dalam pemilu seharusnya menjadi titik awal, bukan akhir dari segalanya. Kini, tanggung jawab terbesar bukan hanya terletak pada pundak mereka yang menang, tetapi juga pada kedewasaan mereka yang (untuk sementara) kalah. Sebab, membangun sebuah negeri adalah kerja kolektif, bukan proyek satu kelompok pemenang saja. Jika kita gagal menyadarinya, maka kemenangan ini hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah tentang bagaimana sebuah bangsa memilih untuk merobohkan rumahnya sendiri.